Deepfake dan Krisis Kepercayaan di Era Digital: Ancaman Teknologi AI terhadap Kepercayaan Publik
Sobat Siber, perkembangan teknologi kecerdasan buatan telah membawa perubahan besar dalam cara kita mengakses, memproduksi, dan memaknai informasi. Salah satu dampak yang kini menjadi perhatian serius adalah hadirnya teknologi deepfake, yaitu teknik manipulasi berbasis AI yang mampu meniru wajah, suara, dan gerakan seseorang secara sangat realistis. Teknologi ini membuat batas antara fakta dan rekayasa menjadi semakin kabur, sekaligus menghadirkan tantangan baru terhadap kepercayaan publik.
Di era digital saat ini, video dan suara tidak lagi bisa diterima begitu saja sebagai kebenaran. Konten visual yang dahulu dianggap sebagai bukti paling kuat kini justru bisa menjadi alat manipulasi. Tanpa kemampuan berpikir kritis dan literasi digital yang memadai, siapa pun berisiko menjadi korban misinformasi, penipuan, bahkan konflik sosial yang dipicu oleh konten palsu berbasis AI.
Kasus Deepfake: Pelajaran Nyata untuk Ruang Publik
Fenomena deepfake bukan sekadar wacana akademik. Berbagai peristiwa menunjukkan bahwa teknologi ini telah berdampak langsung pada ruang publik dan kehidupan masyarakat.
- Kasus Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi salah satu contoh bagaimana manipulasi konten dapat menyeret nama pejabat negara. Sebuah video yang beredar menampilkan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, seolah-olah menyebut guru sebagai “beban negara”. Video tersebut kemudian diklarifikasi sebagai hasil manipulasi dan pemotongan konteks pidato.

Sri Mulyani menegaskan bahwa ia tidak pernah menyampaikan pernyataan tersebut dan mengingatkan masyarakat agar lebih kritis dalam menyikapi konten digital. Kasus ini memperlihatkan betapa berbahayanya deepfake ketika menyasar figur publik, karena dapat memicu emosi massa dan memperkeruh situasi sosial. (Sumber: detik.com; CNA Indonesia) - Video mantan Presiden RI ke-7, Joko Widodo, yang diklaim berbicara dalam bahasa Mandarin juga sempat menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.
Video tersebut beredar luas dan membuat banyak orang mempertanyakan keasliannya sebelum akhirnya dipastikan sebagai hasil manipulasi AI. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana deepfake dapat digunakan untuk menggiring opini dan menciptakan keraguan publik, bahkan tanpa motif finansial yang jelas. (Sumber: detik.com) - Kasus penipuan menggunakan video dan suara menyerupai Presiden RI Prabowo Subianto memperlihatkan sisi lain deepfake yang lebih berbahaya. Dalam modus ini, pelaku membuat video palsu yang tampak resmi untuk menjanjikan bantuan dana dan meminta korban mentransfer sejumlah uang.

Dengan visual dan audio yang meyakinkan, banyak korban tidak menyadari bahwa mereka sedang berhadapan dengan rekayasa digital. Kasus ini menegaskan bahwa deepfake telah berkembang menjadi alat kejahatan siber yang nyata dan merugikan masyarakat. (Sumber: detik.com) - Kasus Taylor Swift menjadi contoh global tentang bagaimana deepfake dapat digunakan untuk menyerang figur publik secara masif. Pada awal 2024, gambar dan konten deepfake eksplisit berbasis AI yang menargetkan penyanyi Taylor Swift tersebar luas di media sosial, khususnya platform X.

Konten tersebut berupa pornografi palsu non-konsensual yang melanggar privasi dan martabat korban. Penyebarannya yang cepat memicu kecaman publik dan mendorong platform media sosial untuk mengambil langkah pembatasan. Kasus ini menyoroti sisi gelap teknologi AI dan urgensi perlindungan terhadap individu dari kekerasan digital. (Sumber: AP News)
Dampak Deepfake bagi Institusi dan Lembaga
Sobat Siber, dari berbagai kasus tersebut terlihat jelas bahwa deepfake tidak hanya mengancam individu, tetapi juga institusi. Ketika masyarakat mulai meragukan keaslian informasi visual, kepercayaan terhadap lembaga pendidikan, pemerintah, dan media berpotensi ikut terkikis. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat melemahkan peran institusi sebagai sumber informasi yang kredibel dan penopang nalar publik.
Bagi kampus, lembaga, dan instansi, tantangan deepfake seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat literasi digital, tata kelola informasi, serta kesadaran etika pemanfaatan teknologi sebagai bagian dari budaya organisasi dan akademik.
Penutup: Sobat Siber dan Tanggung Jawab Literasi Digital
Sobat Siber, deepfake mengajarkan kita satu hal penting: teknologi akan terus berkembang, tetapi tanggung jawab untuk menjaga kebenaran tetap berada di tangan manusia. Kita mungkin tidak bisa menghentikan kecanggihan AI, namun kita bisa memperkecil dampak buruknya melalui kesadaran, kehati-hatian, dan sikap kritis dalam menerima informasi.
Setiap kali Sobat Siber memilih untuk memverifikasi konten, menahan diri dari menyebarkan informasi yang meragukan, dan mengedepankan akal sehat, di situlah literasi digital benar-benar bekerja. Di lingkungan kampus dan lembaga, sikap ini bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan bagian dari tanggung jawab moral untuk menjaga ruang publik yang sehat dan beradab.
“Di era deepfake, kebenaran bukan hanya soal teknologi, tetapi soal kesadaran dan tanggung jawab bersama.”
Referensi
- detik.com, Sri Mulyani Bantah Video Deepfake Sebut Guru Beban Negara
- CNA Indonesia, Sri Mulyani Tegaskan Video Hoaks Hasil Deepfake
- detik.com, Ancaman Hoaks Deepfake AI, Jokowi Jadi Korban
- detik.com, Pelaku Deepfake Video Presiden Prabowo Catut Nama Pejabat
- AP News, Taylor Swift AI Images Spark Debate Over Deepfake and Consent




